Museum I: Museum Ullen Sentalu
Saya
mengunjungi Museum Ullen Sentalu pada tanggal 25 Oktober 2016, bersama dengan
Bewinda, Kafana, Nadya, Yasmin, dan Riris. Kami berangkat sekitar pukul 12.45,
setelah makan siang dan bercengkerama sejenak.
Awalnya,
kunjungan ini sama sekali tidak direncanakan. Memang sejak awal Kafana mengajak
yang lain untuk mengunjungi museum bersama-sama, tapi yang lain (termasuk saya)
belum bisa memastikan waktu yang tepat. Akhirnya terjadi begitu saja. Tahu-tahu
kami semua sudah berada di mobil Kafana, berbekal camilan hasil sumbangan
Bewinda dan Nadya, dan meluncurlah kami ke Museum Ullen Sentalu.
Udara
di Kaliurang bagian atas sejuk pada saat itu, bahkan cenderung dingin karena
daerah atas baru saja diguyur hujan. Kami memutuskan untuk membawa payung,
karena Museum Ullen Sentalu mempunyai medan outdoor yang lebih banyak ketimbang
ruangan indoor.
Tiket
tur keliling museum ini adalah Rp30,000/orang dewasa. Setelah menunggu tour
guide kami beberapa saat, akhirnya kami berangkat bersama dengan rombongan
ibu-ibu yang sedikit salah kostum karena beberapa dari mereka memakai sepatu wedges dan high heels, padahal medan outdoor sedang licin-licinnya.
"Soalnya kunjungan kita ini tidak direncanakan, Mbak," ujar salah
satu ibu-ibu mewakili teman-temannya. Ya sudah. Kami pun memulai tur kami di
Museum Ullen Sentalu.
Pertama
kami masuk ke ruangan yang berisikan gamelan. Di sini dijelaskan beberapa jenis
gamelan yang ada, lalu tour guide kami dengan sabar menunggu beberapa anggota
rombongan yang berbondong-bondong ke toilet karena udara yang dingin dipadu
dengan AC yang sejuk. Setelah itu, kami lanjut ke ruangan kedua.
Di
ruangan kedua, kami bisa melihat banyak foto, lukisan, dan silsilah keluarga
Dinasti Mataram. Yang awalnya hanya terbagi menjadi 2, yaitu mulai dari
Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, hingga terbagi menjadi 2 lagi,
yaitu Praja Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman. Total ada 4 keluarga
Dinasti Mataram yang disebutkan di silsilah keluarga tersebut.
Sembari
tour guide kami menjelaskan (yang sangat saya acungi jempol karena dia menjelaskan dengan
sangat lancar), kami yang muda sesekali bertanya. Yang lebih banyak bertanya
tentu saja anak rantau yang bukan berasal dari Jawa, karena mereka bingung dengan
silsilah keluarga Dinasti Mataram dan nama-nama raja serta sultan yang sama
tapi berbeda orangnya. Kafana lah yang paling bingung mencerna semua informasi
itu. Untungnya, tour guide ini mampu menjelaskan dengan cermat dan Kafana pun
bisa mencerna informasi tersebut dengan mudah.
Ada
satu ruangan yang membuat saya senang sekali, yaitu ruangan yang berisikan
kumpulan puisi. Puisi-puisi tersebut dipigura, lalu diterjemahkan ke dalam 3
bahasa: Indonesia, Inggris, dan Belanda (seingat saya) karena kebanyakan puisi
tersebut ditulis dengan bahasa Jawa. Sayangnya, di museum ini tidak
diperkenankan untuk memfoto benda museum, dan kami hanya bisa berfoto di
gerbang museum dan di beberapa tempat yang diperkenankan untuk difoto.
"Mungkin banyak yang 'jaga', jadi tidak boleh difoto," ujar ibu-ibu
sambil berbisik-bisik.
Kami
pun bergegas menuju ke satu ruangan yang memajang macam-macam batik. Ada batik
khas Surakarta dan khas Yogyakarta yang setelah dilihat-lihat, mempunyai corak
yang berbeda. Kebanyakan batik Surakarta mempunyai corak yang lembut dan halus,
sedangkan batik Yogyarakta mempunyai corak yang tegas dan terkesan maskulin. Tour guide pun menjelaskan beberapa corak batik yang pada jaman dahulu
hanya boleh dikenakan oleh konglomerat pada saat-saat tertentu, tapi sekarang
sudah banyak yang memakai.
Setelah
sekitar 20 menit kami berkeliling, kami diarahkan ke satu ruangan tempat
beristirahat sejenak dan kami pun diberi minum jamu Ratu Mas. Saya, yang sudah
lama tidak minum jamu, langsung menghabiskannya dengan cepat. Jika saja boleh
nambah, saya pasti sudah nambah sampai 3 kali.
Beberapa
ruangan terakhir yang kami kunjungi adalah ruangan lukisan dan patung-patung
yang sangat indah. Akhir tur kami pun ditutup dengan melihat lukisan tarian dan
patung.
Museum
swasta ini sangat menawan, mulai dari segi arsitektur, koleksi museum, serta
pelayanan yang baik. Walaupun saya sudah ke museum ini dua kali, tapi rasanya
masih 'kurang'. Mungkin di lain waktu, saya akan menyempatkan untuk datang lagi
ke museum ini bersama keluarga saya.
Museum
II: Jogja National Museum
Kunjungan
kedua saya ini lagi-lagi sebuah sesuatu yang tidak direncanakan. Awalnya, saya
dan teman saya (Dito) berencana untuk mengunjungi Museum Vrederburg. Tiba-tiba,
sekitar pukul 15.00, dia memberitahu saya bahwa di JNM sedang berlangsung pameran karya seni bertemakan #artfororangutan2. Saya iyakan saja, karena Dito sangat
antusias terhadap segala jenis primata, termasuk orangutan. Kami pun berangkat
setelah maghrib, karena Dito mendadak ketiduran dan saya hanya bisa menggerutu setelah kami bertemu.
Saat
kami sampai di JNM, yang saya perhatikan dari JNM adalah bahwa museum ini
bukanlah seperti museum biasa, tetapi museum kontemporer yang hanya dipakai
saat ada acara saja. Kami datang dan hanya dipungut biaya Rp2,000 untuk parkir
motor. Masuk ke museum, kami disambut oleh lukisan raksasa bergambar orangutan,
dan papan penjelasan tentang orangutan.
Banyak
lukisan sindiran halus dan himbauan kepada pengunjung bahwa saat ini orangutan
sedang berada di posisi 'kritis'. Ya, setelah saya kembali dari JNM, saya pun
mencari lebih dalam tentang persoalan ini. Orangutan, yang berasal dari
Kalimantan dan Sumatra, nyaris punah karena banyaknya pembantaian makhluk
primata ini untuk membuka lahan perkebunan sawit, serta brutalnya illegal
logging yang terjadi di kawasan itu. Banyak karya seni yang menggambarkan
beberapa merk minyak goreng hasil dari kebun sawit yang disandingkan dengan
orangutan.
Bahkan,
Dito pun bercerita bahwa sudah mulai banyak ditemukan orangutan yang memakan
kukang."Waktu diklat, salah satu pembicara menyebutkan bahwa orangutan
adalah predator kukang. Awalnya banyak yang bertanya mengapa, tapi setelah
beliau menjelaskan, memang sudah banyak kukang yang dihabisi oleh orangutan
karena mereka terpaksa memakannya," ujar Dito. Orangutan terpaksa memakan
kukang karena efek illegal logging yang melenyapkan banyak sumber makanan
mereka.
Walaupun
terkesan menyeramkan, namun karya seni yang dipajang di JNM mempunyai sisi unik
serta ungkapan-ungkapan lucu yang hendak disampaikan oleh sang pencipta.
Lukisan-lukisannya tidak melulu memakai warna-warna gelap nan muram, tapi juga
menggunakan warna cerah dan teks jenaka. Para pencipta karya tersebut juga
menonjolkan kreatifitasnya dengan menggunakan media yang tak lazim. Kami pun terperangah
melihat banyaknya karya seni yang indah, namun cukup 'menggelitik' karena
banyaknya sarkasme yang ditampilkan pada karya-karya tersebut.
Setelah
puas menikmati karya seni indah buatan anak bangsa, kami pun bergegas ke Museum
Vrederburg. Tapi ternyata... Kami dibodohi oleh mesin pencari online yang
menyebutkan bahwa Museum Vrederburg buka sampai dini hari pada hari Minggu,
namun kenyataannya museum itu tutup pukul 16.00. Merasa sudah ditipu namun
tidak ingin melewatkan kesempatan, akhirnya kami pun berjalan-jalan sebentar di
daerah Malioboro dan makan wedang ronde hangat.
Museum
III: Museum Benteng Vrederburg
Setelah
menyadari kebodohan saya dan Dito yang 100% percaya pada mesin pencari online
itu, akhirnya kami memutuskan untuk kembali lagi ke Museum Vrederburg.
Syukurlah kami datang pukul 15.00, yang walaupun sangat memaksakan kehendak,
tapi akhirnya tercapai juga.
Masuk
ke Museum Vrederburg, kami hanya dipungut biaya Rp2,000/orang dewasa. Saat itu
sedang gerimis, tapi kami tetap teguh dan masuk dengan bahagia. Sembari
berjalan-jalan di halaman depan, kami menemukan coffee shop di bagian kanan
museum. Dito pun terperangah. "Wah, coffee shop nya buka sampai jam 17.00,
kapan-kapan kita coba ngopi di situ ya," ujarnya. Setelah saya tanya
mengapa harus besok-besok, dia hanya menjawab "Sebentar lagi UAS, dan
dompetnya lagi seret,". Alasan saja.
Kami
pun melanjutkan perjalanan kami dan memasuki ruang Diorama I. Di sana, banyak
patung, lukisan, serta penjelasan tentang peristiwa bersejarah yang disajikan
pada layar sentuh. Setiap diorama mewakili periode atau waktu yang diceritakan
pada diorama tersebut. Di sana terdapat diorama yang menceritakan Perang
Diponegoro, dilanjutkan dengan kedatangan bangsa Jepang ke Yogyakarta, dan
pembangunan Selokan Mataram.
Kebanyakan
diorama di museum ini menceritakan secara runtut sejarah awal penjajahan
Belanda sampai akhir. Kami pun senang dengan adanya layar sentuh yang
disediakan (walaupun layarnya kurang responsif dan saya harus menekannya dengan
sedikit keras agar saya bisa membaca kelanjutan cerita). Kami pun banyak
membaca penjelasan yang disediakan sampai akhir ruangan.
Keluar
dari ruang Diorama I, kami pun menuju ke ruang Diorama II. Di sana disajikan
berbagai macam diorama tentang peristiwa seputar Proklamasi sampai pada peristiwa
Agresi Militer Belanda I, serta banyakmya atribut dan patung-patung yang
dipajang di sana. Saya melihat-lihat dengan sekilas, karena waktu sudah
menunjukkan pukul 15.30.
Kami
pun bergegas ke 2 ruang diorama berikutnya. Di sana ada diorama dari peristiwa
Perjanjian Renville sampai ke peristiwa pembentukan RIS (Republik Indonesia
Serikat.) Di ruang diorama terakhir, kami melihat diorama mulai terbentuknya
NKRI sampai pada jaman Orde Baru. Di akhir perjalanan, kami sempat naik ke atas
benteng dan melihat-lihat pemandangan menyeluruh di sekitar museum.
Berkunjung
ke museum ini, walaupun hanya sebentar, namun mengingatkan saya tentang
pelajaran sejarah dari SD hingga SMA. Tentang perjuangan bangsa Indonesia yang
tak kenal lelah menggapai cita-citanya, yaitu kemerdekaan. Museum ini pun
sangat rapi dan bersih, dan walaupun tidak menyediakan tour guide, tetapi kami
bisa mengikuti alur peristiwa yang disajikan di museum ini. Mungkin jika saya
punya waktu luang, saya akan senang hati berkunjung ke Museum Benteng
Vrederburg lagi.
komen
BalasHapus