Senin, 05 Desember 2016

Nabila Irdha C (399778)

Museum I: Museum Ullen Sentalu

Saya mengunjungi Museum Ullen Sentalu pada tanggal 25 Oktober 2016, bersama dengan Bewinda, Kafana, Nadya, Yasmin, dan Riris. Kami berangkat sekitar pukul 12.45, setelah makan siang dan bercengkerama sejenak.
Awalnya, kunjungan ini sama sekali tidak direncanakan. Memang sejak awal Kafana mengajak yang lain untuk mengunjungi museum bersama-sama, tapi yang lain (termasuk saya) belum bisa memastikan waktu yang tepat. Akhirnya terjadi begitu saja. Tahu-tahu kami semua sudah berada di mobil Kafana, berbekal camilan hasil sumbangan Bewinda dan Nadya, dan meluncurlah kami ke Museum Ullen Sentalu.
Udara di Kaliurang bagian atas sejuk pada saat itu, bahkan cenderung dingin karena daerah atas baru saja diguyur hujan. Kami memutuskan untuk membawa payung, karena Museum Ullen Sentalu mempunyai medan outdoor yang lebih banyak ketimbang ruangan indoor.
Tiket tur keliling museum ini adalah Rp30,000/orang dewasa. Setelah menunggu tour guide kami beberapa saat, akhirnya kami berangkat bersama dengan rombongan ibu-ibu yang sedikit salah kostum karena beberapa dari mereka memakai sepatu wedges dan high heels, padahal medan outdoor sedang licin-licinnya. "Soalnya kunjungan kita ini tidak direncanakan, Mbak," ujar salah satu ibu-ibu mewakili teman-temannya. Ya sudah. Kami pun memulai tur kami di Museum Ullen Sentalu.
Pertama kami masuk ke ruangan yang berisikan gamelan. Di sini dijelaskan beberapa jenis gamelan yang ada, lalu tour guide kami dengan sabar menunggu beberapa anggota rombongan yang berbondong-bondong ke toilet karena udara yang dingin dipadu dengan AC yang sejuk. Setelah itu, kami lanjut ke ruangan kedua.
Di ruangan kedua, kami bisa melihat banyak foto, lukisan, dan silsilah keluarga Dinasti Mataram. Yang awalnya hanya terbagi menjadi 2, yaitu mulai dari Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, hingga terbagi menjadi 2 lagi, yaitu Praja Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman. Total ada 4 keluarga Dinasti Mataram yang disebutkan di silsilah keluarga tersebut.
Sembari tour guide kami menjelaskan (yang sangat saya acungi jempol karena dia menjelaskan dengan sangat lancar), kami yang muda sesekali bertanya. Yang lebih banyak bertanya tentu saja anak rantau yang bukan berasal dari Jawa, karena mereka bingung dengan silsilah keluarga Dinasti Mataram dan nama-nama raja serta sultan yang sama tapi berbeda orangnya. Kafana lah yang paling bingung mencerna semua informasi itu. Untungnya, tour guide ini mampu menjelaskan dengan cermat dan Kafana pun bisa mencerna informasi tersebut dengan mudah.
Ada satu ruangan yang membuat saya senang sekali, yaitu ruangan yang berisikan kumpulan puisi. Puisi-puisi tersebut dipigura, lalu diterjemahkan ke dalam 3 bahasa: Indonesia, Inggris, dan Belanda (seingat saya) karena kebanyakan puisi tersebut ditulis dengan bahasa Jawa. Sayangnya, di museum ini tidak diperkenankan untuk memfoto benda museum, dan kami hanya bisa berfoto di gerbang museum dan di beberapa tempat yang diperkenankan untuk difoto. "Mungkin banyak yang 'jaga', jadi tidak boleh difoto," ujar ibu-ibu sambil berbisik-bisik.
Kami pun bergegas menuju ke satu ruangan yang memajang macam-macam batik. Ada batik khas Surakarta dan khas Yogyakarta yang setelah dilihat-lihat, mempunyai corak yang berbeda. Kebanyakan batik Surakarta mempunyai corak yang lembut dan halus, sedangkan batik Yogyarakta mempunyai corak yang tegas dan terkesan maskulin. Tour guide pun menjelaskan beberapa corak batik yang pada jaman dahulu hanya boleh dikenakan oleh konglomerat pada saat-saat tertentu, tapi sekarang sudah banyak yang memakai.
Setelah sekitar 20 menit kami berkeliling, kami diarahkan ke satu ruangan tempat beristirahat sejenak dan kami pun diberi minum jamu Ratu Mas. Saya, yang sudah lama tidak minum jamu, langsung menghabiskannya dengan cepat. Jika saja boleh nambah, saya pasti sudah nambah sampai 3 kali.
Beberapa ruangan terakhir yang kami kunjungi adalah ruangan lukisan dan patung-patung yang sangat indah. Akhir tur kami pun ditutup dengan melihat lukisan tarian dan patung.
Museum swasta ini sangat menawan, mulai dari segi arsitektur, koleksi museum, serta pelayanan yang baik. Walaupun saya sudah ke museum ini dua kali, tapi rasanya masih 'kurang'. Mungkin di lain waktu, saya akan menyempatkan untuk datang lagi ke museum ini bersama keluarga saya.





Museum II: Jogja National Museum

Kunjungan kedua saya ini lagi-lagi sebuah sesuatu yang tidak direncanakan. Awalnya, saya dan teman saya (Dito) berencana untuk mengunjungi Museum Vrederburg. Tiba-tiba, sekitar pukul 15.00, dia memberitahu saya bahwa di JNM sedang berlangsung pameran karya seni bertemakan #artfororangutan2. Saya iyakan saja, karena Dito sangat antusias terhadap segala jenis primata, termasuk orangutan. Kami pun berangkat setelah maghrib, karena Dito mendadak ketiduran dan saya hanya bisa menggerutu setelah kami bertemu.
Saat kami sampai di JNM, yang saya perhatikan dari JNM adalah bahwa museum ini bukanlah seperti museum biasa, tetapi museum kontemporer yang hanya dipakai saat ada acara saja. Kami datang dan hanya dipungut biaya Rp2,000 untuk parkir motor. Masuk ke museum, kami disambut oleh lukisan raksasa bergambar orangutan, dan papan penjelasan tentang orangutan.


Banyak lukisan sindiran halus dan himbauan kepada pengunjung bahwa saat ini orangutan sedang berada di posisi 'kritis'. Ya, setelah saya kembali dari JNM, saya pun mencari lebih dalam tentang persoalan ini. Orangutan, yang berasal dari Kalimantan dan Sumatra, nyaris punah karena banyaknya pembantaian makhluk primata ini untuk membuka lahan perkebunan sawit, serta brutalnya illegal logging yang terjadi di kawasan itu. Banyak karya seni yang menggambarkan beberapa merk minyak goreng hasil dari kebun sawit yang disandingkan dengan orangutan.
Bahkan, Dito pun bercerita bahwa sudah mulai banyak ditemukan orangutan yang memakan kukang."Waktu diklat, salah satu pembicara menyebutkan bahwa orangutan adalah predator kukang. Awalnya banyak yang bertanya mengapa, tapi setelah beliau menjelaskan, memang sudah banyak kukang yang dihabisi oleh orangutan karena mereka terpaksa memakannya," ujar Dito. Orangutan terpaksa memakan kukang karena efek illegal logging yang melenyapkan banyak sumber makanan mereka.
Walaupun terkesan menyeramkan, namun karya seni yang dipajang di JNM mempunyai sisi unik serta ungkapan-ungkapan lucu yang hendak disampaikan oleh sang pencipta. Lukisan-lukisannya tidak melulu memakai warna-warna gelap nan muram, tapi juga menggunakan warna cerah dan teks jenaka. Para pencipta karya tersebut juga menonjolkan kreatifitasnya dengan menggunakan media yang tak lazim. Kami pun terperangah melihat banyaknya karya seni yang indah, namun cukup 'menggelitik' karena banyaknya sarkasme yang ditampilkan pada karya-karya tersebut.


Setelah puas menikmati karya seni indah buatan anak bangsa, kami pun bergegas ke Museum Vrederburg. Tapi ternyata... Kami dibodohi oleh mesin pencari online yang menyebutkan bahwa Museum Vrederburg buka sampai dini hari pada hari Minggu, namun kenyataannya museum itu tutup pukul 16.00. Merasa sudah ditipu namun tidak ingin melewatkan kesempatan, akhirnya kami pun berjalan-jalan sebentar di daerah Malioboro dan makan wedang ronde hangat.





Museum III: Museum Benteng Vrederburg
Setelah menyadari kebodohan saya dan Dito yang 100% percaya pada mesin pencari online itu, akhirnya kami memutuskan untuk kembali lagi ke Museum Vrederburg. Syukurlah kami datang pukul 15.00, yang walaupun sangat memaksakan kehendak, tapi akhirnya tercapai juga.
Masuk ke Museum Vrederburg, kami hanya dipungut biaya Rp2,000/orang dewasa. Saat itu sedang gerimis, tapi kami tetap teguh dan masuk dengan bahagia. Sembari berjalan-jalan di halaman depan, kami menemukan coffee shop di bagian kanan museum. Dito pun terperangah. "Wah, coffee shop nya buka sampai jam 17.00, kapan-kapan kita coba ngopi di situ ya," ujarnya. Setelah saya tanya mengapa harus besok-besok, dia hanya menjawab "Sebentar lagi UAS, dan dompetnya lagi seret,". Alasan saja.
Kami pun melanjutkan perjalanan kami dan memasuki ruang Diorama I. Di sana, banyak patung, lukisan, serta penjelasan tentang peristiwa bersejarah yang disajikan pada layar sentuh. Setiap diorama mewakili periode atau waktu yang diceritakan pada diorama tersebut. Di sana terdapat diorama yang menceritakan Perang Diponegoro, dilanjutkan dengan kedatangan bangsa Jepang ke Yogyakarta, dan pembangunan Selokan Mataram.


Kebanyakan diorama di museum ini menceritakan secara runtut sejarah awal penjajahan Belanda sampai akhir. Kami pun senang dengan adanya layar sentuh yang disediakan (walaupun layarnya kurang responsif dan saya harus menekannya dengan sedikit keras agar saya bisa membaca kelanjutan cerita). Kami pun banyak membaca penjelasan yang disediakan sampai akhir ruangan.
Keluar dari ruang Diorama I, kami pun menuju ke ruang Diorama II. Di sana disajikan berbagai macam diorama tentang peristiwa seputar Proklamasi sampai pada peristiwa Agresi Militer Belanda I, serta banyakmya atribut dan patung-patung yang dipajang di sana. Saya melihat-lihat dengan sekilas, karena waktu sudah menunjukkan pukul 15.30.



Kami pun bergegas ke 2 ruang diorama berikutnya. Di sana ada diorama dari peristiwa Perjanjian Renville sampai ke peristiwa pembentukan RIS (Republik Indonesia Serikat.) Di ruang diorama terakhir, kami melihat diorama mulai terbentuknya NKRI sampai pada jaman Orde Baru. Di akhir perjalanan, kami sempat naik ke atas benteng dan melihat-lihat pemandangan menyeluruh di sekitar museum.

Berkunjung ke museum ini, walaupun hanya sebentar, namun mengingatkan saya tentang pelajaran sejarah dari SD hingga SMA. Tentang perjuangan bangsa Indonesia yang tak kenal lelah menggapai cita-citanya, yaitu kemerdekaan. Museum ini pun sangat rapi dan bersih, dan walaupun tidak menyediakan tour guide, tetapi kami bisa mengikuti alur peristiwa yang disajikan di museum ini. Mungkin jika saya punya waktu luang, saya akan senang hati berkunjung ke Museum Benteng Vrederburg lagi.

1 komentar: